Harga terus Anjlok, Pohon Karet Terancam Lenyap

JAKARTA – Anjloknya harga karet, ditambah serapan bahan baku karet untuk industri masih minim membuat petani kareta menjerit. Jika kondisi demikian terus berlangsung tidak kemungkinan petani karet beralih profesi. Ke depan, Indonesia bisa tidak memiliki pohon karet.

Tahun 2019, produksi kareta sebanyak 3,55 juta ton, sementara serapan hanya mencapai sekitar 600 ribu ton.

Catatan Kamar Dagang Indonesia (KADIN), harga karet hanya USD1,4 per kilogram (kg) atau anjlok dari tahun-tahun sebelumnya. Padahalan, pada 2011 harga karet mencapai USD5 per kg.

Ketua Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI), Azis Pane mengatakan, banyak petani karet yang mengeluhkan atas kondisi seperti ini, sehingga banyak petani yang akan beralih profesi.

“Pesimistisnya petani, ganti pohon karet ke kelapa sawit. Takutnya nanti karet alam di Indonesia goodbye (hilang). Sedangkan Laos, Vietnam, Kamboja kembangkan karet. Suatu kali kita akan impor karet (jika terus seperti ini),” ujar dia di Jakarta, Senin (20/1).

Kondisi demikian, diperparah dengan pohon kareta kerap berpenyakitan. Petani sudah sulit mendapatkan margin keuntungan, tetapi ditambah harus merawat pohon miliknya.

Menurut dia tanpa bantuan pemerintah kondisi petani karet akan terus menderita, bahkan nantinya tidak akan ada lagi yang akan menanam pohon karet.

Oleh karena itu, harapan dia, dalam pembangunan jalan aspal di Ibu Kota Baru, Kalimantan, pemerintah bisa menggunakan kareta alam lokal. Dengan begitu, produksi kareta Indonesia akan berkembang dan petani akan mengalami keuntungan.

“Industri karet di Indonesia sudah banyak, (seperti misalnya digunakan untuk) blok anti gempa, blok-blok untuk pelabuhan, jalan-jalan, nah aspal itu kan semuanya karet,” tutur dia.

Dia berjanji, secepatanya akan mengirim surat ke Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro. Harapan dia Presiden Joko Widodo menerima usulan tersebut demi masa depan petani karet.

Ke depan, dia memprediksi penggunaan karet alami akan diperlukan. Pemerintah dalam hal ini harus memikirkan jangka panjang, bukan dalam waktu pendek.

“Dikhawatirkan, suatu saat kita akan impor karet, penggunaan karet alami, dapat digunakan sebagai bahan bakar. (Dari itu) Petani itu harus yakin, dan harus yakin tentang apa yang dia tanam dan kerjakan itu benar,” ujar dia.

Kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Industri, Johnny Darmawan menambahkan, serapan karet harus ditingkatkan dengan maksimal.

“Harus ada upaya lain untuk meningkatkan ketahanan para petani melalui pemanfaatan karet dan biji karet sebagai bahan baku nabati selain kelapa sawit,” ujar Johnny.

Terpisah, Peneliti Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia, Didiek Hadjar Goenadi mengatakan, produksi minyak sawit Indonesia tidak cukup untuk menggantikan impor BBM seperti solar. Oleh karena itu, pemerintah harus mencari bahan baku lain, seperti karet.

Dia mencata, potensi pasar karet Indonesia menurun tajam hingga 70 persen, salah satunya untuk industri ban. Selain karena faktor kualitas kareta Indonesia yang buruk, juga munculnya produsen negara baru yang menghasilkan karet, yakni Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Sehingga diperlukan kebijakan nasional untuk menangani hal itu.

“Perlu kebijakan nasional yang mampu secara masif, dan cepat menyerap hasil panen kebun untuk penuhi kebutuhan domestik,” kata Didiek.

Dalam masalah kareta, pemerintah harus melakukan program riset ungglan nasional, insentif fiskal, subsidi, dan Badan pengelola dana perkebunan karet alam. Tak hanya itu, pasar karet bisa disamakan seperti kelapa sawit. “Kita mendorong karet, bagaimana agar menjadi produk unggulan,” tukas dia. (din/fin)

Pos terkait